Perbuatan Rasulullah itu menjadi nilai pahala manakala dilakukan oleh umatnya, yaitu melaksanakan sunah nya.
Ibn Qayyim Al-Jauzi dalam buku Kiat Membersihkan Hati dari Kotoran menyebut misalnya salah satu hadis masyhur tersebut sebagai berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا
Artinya: “Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam makan dengan tiga jari dan menjilati tangannya setelah makan sebelum beliau bersihkan.” (HR. Muslim).
Al-‘Allamah An-Nawawi juga mengatakan dalam Syarkh Muslimnya, beliau berkata,
وَاسْتِحْبَاب الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع ، وَلَا يَضُمّ إِلَيْهَا الرَّابِعَة وَالْخَامِسَة إِلَّا لِعُذْرٍ بِأَنْ يَكُون مَرَقًا وَغَيْره مِمَّا لَا يُمْكِن بِثَلَاثٍ وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ الْأَعْذَار
Artinya: “Dan diantara pelajaran hadits adalah disunnahkan makan dengan tiga jari, dan janganlah seseorang menggunakan jari yang keempat dan kelima kecuali karena suatu ‘udzur (alasan yang membolehkan), seperti jika makanannya berupa kuah atau selainnya yang tidak mungkin memakannya dengan tiga jari, dan alasan-alasan lainnya.”
Nabi menyunahkan demikian karena dulu yang dimakan adalah kurma sehingga Rasulullah tidak memerintahkan makan dengan lima jari atau dengan sendok maupun garpu.
Nah, dalam konteks masa sekarang, maka hadis di atas tidak bisa disamaratakan kepada semua aktivitas makan makanan dengan berbagai macamnya. Misalnya ketika makan mie aceh, apa harus dengan tiga jari? Tidak. Atau makan bubur kacang ijo apa juga dengan tiga jari? Tidak perlu.
Oleh sebab demikian kontekstualisasi hadis ini adalah yang terpenting ketika makan kita harus menerapkan etika Islam. Etika bagaimana sekiranya aktivitas makan yang kita lakukan tidak melanggar norma agama dan budaya setempat. Sehingga dengan demikian kita akan mendapatkan kesunahan Rasulullah. Wallahu A’lam. ~
